BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pertumbuhan
kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal,
yang secara integral telah merasuk dalam setiap kegiatan kehidupan perkotaan.
Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan,
dimana ketidakseimbangan pembangunan desa dan kota, menarik arus urbanisasi ke
kota. Hal ini meyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak sejalan
dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja
lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha
sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL).
Dalam
perkembangannya PKL menghadapkan pemerintah pada kondisi yang dilematis, disatu
sisi keberadaannya dapat menciptakan lapangan kerja, sedangkan dilain pihak
keberadaan PKL yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah
menjadi beban bagi kota. PKL beraktivitas pada ruang-ruang publik kota tanpa
mengindahkan kepentingan umum, sehingga terjadinya distorsi fungsi dari ruang
tersebut. Pada akhirnya kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota dalam
menciptakan keserasian lingkungan kota sering kali tidak sejalan dengan apa
yang telah direncanakan. PKL telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan
kota, sedangkan terhadap masyarakat keberadaan PKL selain memberikan dampak
negatif juga memberikan manfaat/dampak positif terhadap masyarakat.
1.2. Perumusan
Masalah
Dalam makalah
ini terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Pengertian Pedagang Kaki Lima
2.
Sejarah Pedagang Kaki lima
3.
Dampak positif dan dampak negatif dengan munculnya
pedagang kaki lima
1.3 .Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini terdapat beberapa tujuan, yaitu:
1.
Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Sejarah Sektor Ekonomi Informal
2.
Memberikan wawasan kepada mahasiswa dalam mengkaji
keberadaan PKL
3.
Menjelaskan berapa pentingnya
peranan PKL terhadap sektor informal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Pedagang Kaki Lima (PKL)
Menurut Poerwadarminta (2000) Pedagang Kaki Lima atau
yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja
dagangan yang menggunakangerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian
karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki
pedagang ditambah tiga "kaki"gerobak (yang sebenarnya adalah tiga
roda atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan
jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima, namun saat ini istilah PKL
memiliki arti yang lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut
pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima adalah lantai yang
diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah(Kamus Besar Bahasa
Indonesia), arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi
jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan
bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar
perencana kota bahwa bagian depan(serambi) dari toko lebarnya harus sekitar
lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat
melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi
sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi
menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah
istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
2.1.1. Sektor
Informal
Menurut Lukman Sutrisno (1997) secara teoritis sektor
informal sudah ada sejak manusia berada di dunia. Fenomena ini terlihat dari
kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan sendiri melalui kerja mandiri tanpa
bergantung pada orang lain. Manusia pada awalnya menunjang kehidupannya melalui
lapangan kerja yang diciptakan sendiri dan dikerjakan sendiri atau self-employed. Dengan demikian pada saat
itu self employed merupakan
organisasi produksi yang formal. Kemampuan kerja mandiri tersebut kemudian
berubah setelah masuk pengaruh budaya industri dari negara Barat. Ada dua sebab
yang mendorong self-employed yang
semula merupakan organisasi produksi yang formal menjadi apa yang disebut
sekarang sebagai "sektor informal". Pertama, setelah revolusi
industri terjadi maka berkembang cara produksi yang lebih terorganisir. Kedua,
munculnya negara dan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia yang semakin
kompleks memberikan peluang bagi warga negara untuk menjadi birokrat, pegawai
negri, polisi, dan tentara. Mereka inilah yang kemudian menjadi buruh dari
negara atau pemerintahan. Perkembangan selanjutnya dari para pegawai tersebut
dikelompokan menjadi sektor formal dalam jenis pekerjaan.
Sektor informal
yang lahirnya tidak dikehendaki dalam konteks pembangunan ekonomi,
karena dianggap merupakan produk sampingan dari pembangunan sektor formal,
mempunyai sifat-sifat yang memang bertentangan dengan sektor formal. Sifat-sifat sektor informal yang mencerminkan
adanya pertentangan dengan sektor formal tersebut antara lain: a). Dari sisi
pemasaran, transaksi tawar menawar diluar sistem hukum formal dengan afinitas
sosial budaya lebih menonjol, b) Perilaku sosial pelaku berhubungan erat dengan
kampung dan daerah asal, c) Merupakan kegiatan illegal sehingga selalu terancam
penertiban, d) Pendapatan para pelaku ekonomi sektor ini syah tetapi disembunyikan disebut black economy atau underground ekonomi, e) Secara umum dipandang melakukan peran
periferal dalam ekonomi kota dan beraneka ragam kegiatan, f) Dalam menjalankan
usaha terjadi persaingan ketat diantara para pelaku ekonomi di sektor ini, g)
Kebanyakan berusaha sendiri, tidak terorganisir, keuntungan kecil, h) Kegiatan ekonomi di sektor informal
tumbuh dari rakyat miskin dikerjakan oleh rakyat miskin, dan sebagian
konsumennya adalah rakyat miskin.
Terlepas dari semua definisi atau ciri-ciri tersebut
diatas keberadaan sektor informal sudah menjadi sebuah realitas sosial yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa mengabaikan keberadaanya
justru akan mempersulit kita dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang
sedang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaanya yang banyak menjadi
harapan rakyat klas bawah sebagai lahan mencari nafkah merupakan tantangan bagi
pemerintah untuk menjadikan sektor ini sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional.
Perkembangan sektor informal di perkotaan tidak terlepas
dari pertumbuhan penduduk yang cepat di daerah perkotaan tersebut. Urbanisasi
merupakan salah satu penyebab dari berbagai sebab semakin berkembang sektor
informal di perkotaan. Paling tidak terdapat dua alasan utama yang dapat
menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja sektor informal di
negara-negara berkembang. Alasan pertama, dikemukakan oleh Prebish (1978, 1981)
yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah
perkotaan dan perdesaan menyebabkan terjadinya "urbanisasi yang
prematur" (prematur urbanization)
dan "deformasi struktural" (structural
deformation) dalam ekonomi (dalam Sasono, 1980). Alasan kedua yang dapat digunakan untuk
menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja disektor informal di
negara-negara sedang berkembang adalah tesis yang dikemukakan oleh Tokman
(1982) yaitu berpangkal pada adanya perbedaan produktifitas yang menyolok antar
sektor dan intra sektor yang telah mengakibatkan terjadinya "keragaman
struktural" (structural
heterogenity).
2.1.2. Hubungan Sektor Informal dengan Sektor Formal
Hubungan antara sektor informal dan sektor formal
nampaknya sulit untuk dipisahkan. Keduanya merupakan sektor ekonomi yang saling
mengisi ketika salah satunya tidak dapat memenuhi kebutuhan akan meluapnya
tenaga kerja. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena secara ekonomi sektor
informal memang tidak mampu lagi menampung tenaga kerja yang ada, tetapi juga
karena persoalan-persoalan sosial yang menyebabkan bangkrutnya sektor formal.
Luapan tenaga kerja tersebut pada akhirnya ditampung oleh sektor non formal.
Gambaran hubungan yang erat antara sektor formal dan
informal tersebut oleh para ahli ekonomi dilihat dari dua segi pandangan.
Pertama, bahwa keberadaan dan kelangsungan perluasan sektor informal diterima
sebagai fase yang harus ada dalam proses pembagunan. Dampak dari pembangunan
harus melewati fase tersebut dimana sektor formal pada fase tertentu tidak
mampu untuk menampung semua tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu fungsi
sektor informal adalah sebagai penyangga (buffer
zone) Sektor informal dipandang
sebagai wadah persemaian benih-benih kewiraswastaan yang diperlukan dalam
mendorong munculnya kelompok pengusaha pribumi yang sangat diperlukan dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota di negara-negara berkembang (Mc Gee,
1973; Mazumbar, 1976; Sethuraman, 1985 dalam Effendi, 1996). Dalam artian yang
demikian maka sektor informal merupakan gejala yang positip bagi perkembangan
ekonomi kota. Melalui sektor tersebut diharapkan para migran dapat ditempa
kemampuan berwiraswasta sehingga pada akhirnya mereka mampu memasuki sektor
formal. Sebagai sebuah fase dalam proses pembangunan maka keberadaan sektor ini
tentu harus dicarikan jalan keluar pemecahanya.
Pandangan kedua melihat hubungan antara sektor informal
dengan formal sebagai hubungan ketimpangan struktural. Artinya strategi
pembangunan yang salah menyebabkan ketimpangan struktural yang menimbulkan dua
kegiatan ekonomi tersebut. Pembenahan dalam hal ketimpangan struktural tersebut
akan dapat menghilangkan sektor informal. Pandangan yang terkahir ini nampaknya
merupakan pandangan yang tidak melihat kenyataan bahwa di negara manapun dalam
kenyataanya sektor informal tetap ada, meskipun ketimpangan struktural tidak
terjadi. Oleh karena itu persoalan yang perlu dipecahkan adalah bagaimana agar
sektor informal menjadi kegiatan ekonomi yang tidak mengganggu atau menimbulkan
masalah-masalah sosial lainnya.
2.1.3. Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sektor informal dapat dikelompokkan dalam tiga golongan:
a). Pekerja yang menjalankan sendiri modalnya yang sangat kecil (PKL, Pedagang
asongan, pedagang pasar, pedagang keliling, etc), b) Pekerja informal yang
bekerja pada orang lain. Golongan ini termasuk buruh upahan yang bekerja pada
pengusaha kecil atau pada suatu keluarga dengan perjanjian lisan dengan upah
bulanan atau harian (PRT, Buruh bangunan), c) Pemilik usaha yang sangat kecil
(pemilik kios kecil). Sedangkan menurut Mustafa (2005:59) jenis-jenis kegiatan
ekonomi yang dapat dikategorikan sebagai sektor informal antara lain: pedagang
kecil, penjaja, pedagng kaki lima, buruh kasar harian pemungut puntung rokok,
pengumpul barang-barang bekas, dan pengemis.
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal
kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol
pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234). Istilah pedagang kaki lima atau disingkat PKL
sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki
pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga
roda atau dua roda dan satu kaki). Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari
masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan
pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun
hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan
adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Para pedagang yang menempati sarana
untuk pejalan tersebut kemudian disebut sebagai pedagang kaki lima. Saat ini
istilah PKL digunakan secara lebih luas,
tidak hanya untuk para pedagang yang
berjualan/berada di badan jalan (trotoar) saja tetapi juga digunakan untuk para
pedagang yang berjualan di jalanan pada
umumnya.
Menurut Peraturan Daerah Kota Padang nomor
11 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat bab 1, pasal 1
menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah orang atau perorangan yang dalam
usahanya menggunakan sarana dan prasarana atau perlengkapan yang mudah
dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak, yang menggunakan sebagian atau
seluruhnya tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat
usaha/berjualan. Seperti halnya pengertian sektor informal yang oleh kebanyakan
para ahli dipahami atau dijelaskan melalui ciri-ciri atau karakteristiknya,
pengertian pedagang kaki lima juga akan lebih mudah dipahami melalui
penggambaran ciri-ciri atau karakteristiknya.
Beberapa karakteristik khas pedagang kaki
lima dikemukakan oleh Bagong Suyanto
dkk. adalah pertama, pola persebaran kaki lima umumnya mendekati pusat
keramaian dan tanpa ijin menduduki zona-zona yang semestinya menjadi milik
publik (depriving public zoning).
Kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi sosial yang
sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban, Ketiga,
sebagai sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme
involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar. Keempat sebagian besar
pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta eksistensi
mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada
ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality
sentiment). Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki
ketrampilan dan keahlian alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru
luar sektor informal kota (Suyanto, 2005: 47-48).
Penjelasan berdasarkan ciri-ciri yang
melekat pada pedagang kaki lima nampaknya menjadi alternative yang dapat
digunakan untuk memahami keberadaan pedagang kaki lima dalam usaha untuk
melakukan pembinaan dan penataanya. Apa yang dikemukakan oleh Kartono dkk
berdasarkan hasil penelitianya di Bandung, dalam menjelaskan ciri-ciri pedagang
kaki lima dapat berguna membantu pembinaan dan penataan pedagang kaki lima
tersebut. Menurut Kartono dkk
(1980:3-7) pedagang kaki lima mempunyai cirri-ciri a). Merupakan pedagang yang
sekaligus sebagai berarti produsen, b). Ada yang menetap pada lokasi tertentu,
ada yang bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain (menggunakan
pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar
pasang), c). Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang
konsumsi lainya yang tahan lama secara eceran, d). Umumnya bermodal kecil,
kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar
komisi sebagai imbalan atau jerih
payahnya, e). Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan
biasanya tidak berstandar, f). Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para
pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah, g). Usaha berskala
kecil bisa merupakan family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu
dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, h). Tawar menawar antar
pembeli merupakan relasi yang ciri khas, i). Dalam melaksanakan pekerjaanya ada
yang secara penuh, sebagian lagi setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada
pula yang secara musiman, j) Barang yang dijual biasanya convenience goods jarang sekali specialty
goods, k). Dan seringkali berada dalam suasana psikologis yang tidak
tenang, meliputi perasaan takut kalu tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh
Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.
Ciri-ciri yang digambarkan oleh Kartono
dkk. tersebut memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima mempunyai keragaman baik
dari segi tempat berdagang, skala usaha, permodalan, jumlah tenaga kerja, jenis
dagangan, dan lokasi usahanya. Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan
penelitianya di kota Surabaya telah mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi
4 tipologi. Keempat tipologi tersebut adalah: Pertama pedagang kaki lima murni yang masih bisa dikategorikan PKL,
dengan skala modal terbatas, dikerjakan oleh orang yang tidak mempunyai
pekerjaan selain pedagang kaki lima, ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang
bekerja adalah anggota keluarga. Kedua,
pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar
murah/pasar rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman
kantor-kantor). Ketiga, pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang
kaki pertama dan kedua, yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan
orang lain. Ia mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan
peraganya dengan mobil, dan bahkan ada yang mempunyai stan lebih dari satu
tempat. Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang nomaden
berpindah-pindah tempat dengan menggunakan mobil bak terbuka. Keempat pedagang
kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan
tenaga kerja yang menjualkan
barang-barangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu padagang
kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan sebagai grosir yang
menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak bermodal dan barang
yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku.
Ciri
pedagang kaki lima yang juga sangat menonjol adalah bersifat subsistensi. Mereka berdagang hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apa yang diperoleh pada hari ini
digunakan sebagai konsumsi hari ini bagi semua anggota keluarganya dengan
demikian kemampuan untuk menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para
pedagang kaki lima menjadi sangat kawatir terhadap berbagai tindakan aparat
yang dapat mengganggu kehidupan subsistensinya. Yustika (2001) menggambarkan
pedagang kaki lima adalah kelompok masyarakat marjinal dan tidak berdaya.
Mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh
kemajuan kota itu sendiri dan tidak terjangkau dan terlindungi oleh hukum,
posisi tawar rendah, serta menjadi obyek penertiban dan peralatan kota yang
represif
2.2. Sejarah
Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan
sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir
jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di
pinggir-pinggir perlintasan jalan raya. Bila melihat sejarah dari permulaan
adanya PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial
Belanda. Adapun yang menyebutkan bahwa kata “kaki lima” berasal dari
masa penjajahan Belanda. Saat itu Kolonial menetapkan bahwa setiap
ruas jalan raya harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki selebar lima
kaki, atau sekitar satu setengah meter untuk kaum pedestrian. Namun
setelah Indonesia merdeka, ruas jalan tersebut banyak dimanfaatkan para
pedagang untuk berjualan, sehingga masyarakat mengenalnya dengan nama
pedagang emperan, namun menurut sejarahnyalebih tepat disebut pedagang
kaki lima.
2.3. Dampak yang
Ditimbulkan dengan Adanya PKL
Munculnya Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL
telah memberikan banyak dampak, baik iyu dampak positif maupun dampak negatif.
Dibawah ini akan diuraikan beberapa dampak positif dan negatif.
2.3.1. Dampak Positif
Ditinjau
dari sisi positifnya, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sabuk
penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam
sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.
Kehadiran PKL di ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas bagi kawasan yang
ditempatinya serta berperan sebagai penghubung kegiatan antara fungsi
pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, PKL juga memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang beraktivitas di sekitar lokasi PKL, sehingga
mereka mendapat pelayanan yang mudah dan cepat untuk mendapatkan barang yang
mereka butuhkan
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki
harga yang relatif terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah
masyarakat menengah kebawah yang memiliki daya beli yang rendah. Keberadaan PKL
bisa menjadi potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, sehingga keberadaan PKL
banyak menjamur di sudut-sudut kota. Dampak positif lainnya terlihat pula dari
segi sosial dan ekonomi, karena sektor informal memiliki karakteristik efesien
dan ekonomis. Hal tersebut menurut Sethurahman selaku koordinator penelitian
sektor informal yang dilakukan ILO di 8 negara berkembang, karena kemampuan
menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dn
modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama
sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
2.3.2. Dampak Negatif
Sisi
Negatif, karakteristik PKL yang menggunakan ruang untuk kepentingan umum,
terutama di pinggir jalan dan trotoar untuk melakukan aktivitasnya yang
mengakibatkan tidak berfungsinya sarana-sarana kepentingan umum. Tidak
tertampungnya kegiatan PKL di ruang perkotaan, menyebabkan pola dan struktur
kota moderen dan tradisional berbaur menjadi satu sehingga menimbulkan suatu
tampilan yang kontras. Bangunan moderen nan megah berdampingan dengan bangunan
sederhana bahkan cenderung kumuh. Perlu adanya upaya yang terpadu dari pihak
terkait untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima ini sebagai upaya untuk
mengembalikan fungsi ruang publik sesuai peruntukkannya.
Hal
tersebut berakibatkan penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya
perkembangan PKL sehingga seolah-olah smua lahan kosong yang strategis maupun
tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. Pkl mengambil ruang dimana-mana
tidak hanya ruang kosong atau terabaikan , tetapi juga pada ruang yang jelas
peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal berjualan hampir di seleruh
jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya
karena aksesbilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan
konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan
PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan,
sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan
ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur
pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa
tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan
mengganggu kelancaran lalu lintas.
Permasalahan yang terjadi berkaitan
dengan penataan atau penertiban PKL adalah kembalinya PKL yang sudah direlokasi
ke tempat semula yang ditertibkan. PKL yang mendatangi kembali lokasi yang
sudah ditertibkan tersebut terdiri dari PKL lama yang dulu ditertibkan dan PKL
baru yang memilih lokasi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.
Fenomena menjamurnya Pedagang Kaki Lima terutama dikota-kota
besar terjadi karena :
ü Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak pada
banyak perusahaan tidak beroperasi lagi seperti sedia kala oleh karena
ketidakmampuan perusahaan menutupi biaya operasionalnya sehingga timbul
kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini juga memberi kontribusi
terhadap peningkatan jumlah pengangguran yang umumnya bermukim di wilayah perkotaan.
Demi mempertahankan hidup, orang-orang yang tidak tertampung dalam sektor
formal maupun yang terkena dampak PHK tersebut kemudian masuk ke dalam sektor
salah satunya adalah menjadi pedagang Kaki Lima .
ü Perencanaan ruang tata kota yang hanya terfokus pada
ruang-ruang formal saja yang menampung kegiatan formal. Seiring dengan
berjalannya waktu, keberadaan ruang-ruang fomal kota tersebut mendorong
munculnya kegiatan informal kota salah satunya di sektor perdagangan, yaitu
Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kegiatan pendukung (activity support).
ü Pertumbuhan penduduk kota yang sangat cepat di Indonesia
lebih banyak disebabkan adanya arus urbanisasi dan pembengkakan kota. Keadaan
semacam ini menyebabkan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan semakin tinggi.
Seiring dengan hal tersebut, ternyata sektor formal tidak mampu menyerap
seluruh pertambahan angkatan kerja. Akibatnya terjadi kelebihan tenaga
kerja yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuhnya sektor
informal. Salah satu bentuk perdagangan informal yang penting adalah Pedagang
Kaki Lima.
BAB III
KESIMPULAN
Pedagang kaki lima (PKL) dikategorikan sebagai sektor
informal perkotaan yang belum terwadahi dalam rencana kota yang resmi,
sehingga tidaklah mengherankan apabila para PKL di kota manapun selalu menjadi
sasaran utama pemerintah kota untuk ditertibkan. Namun, faktanya
berbagai bentuk kebijakan dalam rangka menertibkan PKL yang telah
dilakukan oleh pemerintah kota tidak efektif baik dalam mengendalikan PKL
maupun dalam meningkatkan kualitas ruang kota. Harus diakui memang pada saat
ini adanya penertiban-penertiban yang dilakukan terhadap PKL cenderung
menimbulkan permasalahan baru seperti pemindahan lokasi usaha PKL yang justru
akan membawa dampak yang dikhawatirkan menurunnya tingkat pendapatan PKL
tersebut bila dibandingkan dengan di lokasi asal karena lokasinya menjauh dari
konsumen.
Dengan demikian, dapat dikatakan adanya persoalan PKL ini
menjadi beban berat yang harus ditanggung pemerintah kota dalam penataan
kota. Padahal, bila ditinjau lebih jauh PKL mempunyai kekuatan atau potensi
yang besar dalam penggerak roda perekonomian kota sehingga janganlah dipandang
sebelah mata bahwa PKL adalah biang kesemrawutan kota dan harus dilenyapkan
dari lingkungan kota, dan perlu dicermati pula bahwa kemacetan tersebut tidak
semata karena adanya PKL. Ternyata keberadaan mereka sebenarnya sangat membantu
bagi orang yang kelas menengah kebawah, dan harus dipikirkan bersama bagaimana
dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu
elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Pembinaan PKL tampaknya cukup
menjanjikan tapi hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan karena jumlah
PKL yang sangat banyak dan menyebar. Sudah saatnya pemerintah daerah
melakukan sebuah terobosan baru yang bersifat win-win solution. Di satu sisi
kota bisa terlihat ebih cantik dan di sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih
banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, (2005), Marginalisasi
Sektor Informal Perkotaan, ITS Press, Surabaya.
Ali, Muhammad, (tanpa tahun), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta..
Effendi, Tadjuddin Noor, (1996) "Perkembangan
Penduduk, Sektor Informal, dan Kemiskinan Di Kota" dalam Dwiyanto, Agus,
dkk (ed), Penduduk dan Pembangunan,
Aditya Media, Jogya, 1996.
Evers, Hans Dieters dan Rudiger, Korf, (2002), Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan
Kekuasaan di Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hanandini, Dwiyanti, (2000): Pekerja Anak Sektor Informal Di Terminal Bus dan Angkutan Kota
Kotamadya Padang, Laporan Penelitian,
Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Hanandini, Dwiyanti dkk, (2004), Tindakan Kekerasan di
Lingkungan Pekerja Anak Anak Sektor Informal Kota Padang, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Hidayat, (1983): Situasi
Pekerjaan, Setengah Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Informal,
Makalah Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja, November,
Jakarta.
Kartono, dkk. (1980), Pedagang
Kaki Lima, Universitas Katholik Parahiyangan, Bandung.
Machdaliza, dkk, (2004) ”Jaminan Sosial Tenaga Kerja Di
Sektor Informal (Studi Di Pasar Tradisional dan Pedagang Kaki Lima Pasar Raya
Kota Padang, Sumatera barat)”, Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Manning,
Chris dan Effendi, Tadjuddin (1995), Urbanisasi, Pengangguran, Dan Sektor
Informal Di Kota, Gramedia, Jakarta.
Miles,
Mathew B, Huberman Michael (1984), Qualitative
Data Analysis: A Sourrccebook of A New Methods, Sage Publications, Beverly
Hill, London.
Mustafa,
Ali Achsan (2008), Model Transformasi
Sosial Sektor Informal, Sejarah, Teori, dan Praksis Pedagang Kaki Lima,
Ins-TRANS Publishing, Malang.
Sasono, Adi (1980), Teori
Keterbelakangan dan Kemiskinan di Perkotaan, makalah tidak diterbitkan.
Sutrisno, Lukman (1997) Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Suyanto, Bagong
(2008) ”Migran Dianggap sebagai Beban daripada Potensi”, www. Suarasurabaya.net diakses tgl 22
Oktober 2013.
Soesilo, Dwisuryo
Indroyono (2008) “Penduduk Miskin Di Desa Turun, Di Kota Naik”, www.indonesia.go.id, diakses tgl 18 Oktober 2013.
Pramono, Wahyu
(2000), “Sektor Informal: Sebuah Realitas Sosial di Perkotaan”, Working Paper Sosiologi Andalas, Vol. II
No. 5 Mai 2000, Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas, Padang.
Pramono, Wahyu (2003), ”Studi Deskriptif Dampak Penerapan
Kebijakan Pemerintah Kota Padang terhadap
Pedagang Sektor Informal di Pasar Raya Padang”. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Univ.
Andalas, Padang.
Prebisch, Raul (1978), Socio Economic Structure and
Crises of Pheriferal Capitalism", Cepal Review, no. 6 1978.
Tokman, Victor E (1978). "An Exploitation Into
The Nature of In-formal-Formal Sector Relationship", World Development Vol.6. nos. 9-10, 1978.
Yustika, A. Erani,
(2001), Industrialisasi Pinggiran,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Koran, Internet
“100 PKL di Padang
Tuntut Tempat Berdagang”, Padang Ekspres, Rabu, 23 April 2008 - 11:23 wib (diakses
tgl 18 Oktober 2013)
Meneg Koperasi Dan UKM
Harapkan Sumbar Jadi Contoh Pengelolaan PKL (www.Antara-Sumbar.com, diakses tgl 19 Oktober 2013)
“Pemko
Bukittinggi Tertibkan PKL”, PadangKini.com
| Jumat, 12/12/2008, 23:03 WIB (diakses tgl 19 Oktober 2013)
“Penggusuran PKL di Padang Ricuh”, Kapanlagi.com.
“Pedagang
Kaki Lima Kembali Berunjuk Rasa Bentrokan Warnai Penertiban PKL” (www.kompas.com, diakses 19
Oktober 2013)
maaf...ingin cerita pengalaman saya sekaran yang udah lumayan sukses berkat bantuan atas nama aky dewata tanah dgn noy..0852 5555 7816.bagi anda yang mau seperti aq silakan anda berhubungan beliau,trm ksh,wassalam.
BalasHapuskisah nyatah
BalasHapusini minta maaf terlebih dahulu,mau berbagi sering pengalaman,dulu awalnya aku cuma pedagang biasa,and selalu berusaha ingin sukses,tapi di pertengahan usaha bangkrut dan banyak hutan di mana mana tapi aku tak mau putus asa cari jalan keluar,syukur aku temukan nomor 085217519919 ki songo di webnya dia www.paranormal-kisongo.blogspot.com berkat petunjuk dan arahan beliau aku berhasil bangkit lagi,biarpun aku berhubungan beliau degan jarak jauh aku yakin dan percaya bahwa ini orang yang bisa membantu aku,awal ragu tapi aku beranikan diri telpon beliau degar bicara dan arahan nya,aku yakin ini orang bisa membantu,terima kasih kisongo.wassalam
Artikel ini sangat jelek sekali karna sangat sulit di temukan mana dampak positif dan negatif dari pkl,penulisannya sangat berbelit belit dan membuat orang enggan untuk membacanya
BalasHapus